ISRO’MI’ROJ DALAM KENABIAN MUHAMMAD SAW part #2

Berita-berita yang datang dalam kisah Isra’ Miraj seperti sampainya beliau ke Baitul Maqdis, kemudian berjumpa dengan para nabi dan shalat mengimami mereka, serta berita-berita lain yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih merupakan perkara ghaib. Sikap ahlussunnah wal jama’ah terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup kaedah berikut :
1. Menerima berita tersebut.
2. Mengimani tentang kebenaran berita tersebut.
3. Tidak menolak berita tersebut atau mengubah berita tersebut sesuai dengan kenyataannya.
Kewajiban kita adalah beriman sesuai dengan berita yang datang terhadap seluruh perkara-perkara ghaib yang Allah Ta’ala kabarkan kepada kita atau dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hendaknya kita meneladani sifat para sahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya. Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, orang-orang musyrikin datang menemui Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Mereka mengatakan : “Lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (yakni Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!” Abu Bakar berkata : “Apa yang beliau ucapkan?”. Orang-orang musyrik berkata : “Dia menyangka bahwasanya dia telah pergi ke Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke langit, dan peristiwa tersebut hanya berlangsung satu malam”. Abu Bakar berkata : “Jika memang beliau yang mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau ucapkan karena sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”. Orang-orang musyrik kembali bertanya: “Mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab: “Aku membenarkan seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian kabarkan. Aku membenarkan berita langit yang turun kepada beliau, bagaimana mungkin aku tidak membenarkan beliau tentang perjalanan ke Baitul Maqdis ini?” (Hadits diriwayakan oleh Imam Hakim dalam Al Mustadrak 4407 dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha).
Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu terhadap berita yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau langsung membenarkan dan mempercayai berita tersebut. Beliau tidak banyak bertanya, meskipun peristiwa tersebut mustahil dilakukan dengan teknologi pada saat itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim terhadap setiap berita yang shahih dari Allah dan rasul-Nya.
Apakah hikmah terjadinya Isra`, kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak Mi’raj langsung dari Mekkah padahal hal tersebut memungkinkan? Para ulama menyebutkan ada beberapa hikmah terjadinya peristiwa Isra`, yaitu:
1. Perjalanan Isra’ di bumi dari Mekkah ke Baitul Maqdis lebih memperkuat hujjah bagi orang-orang musyrik. Jika beliau langsung Mi’raj ke langit, seandainya ditanya oleh orang-orang musyrik maka beliau tidak mempunyai alasan yang memperkuat kisah perjalanan yang beliau alami. Oleh karena itu ketika orang-orang musyrik datang dan bertanya kepada beliau, beliau menceritakan tentang kafilah yang beliau temui selama perjalanan Isra’. Tatkala kafilah tersebut pulang dan orang-orang musyrik bertanya kepada mereka, orang-orang musyrik baru mengetahui benarlah apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Untuk menampakkan hubungan antara Mekkah dan Baitul Maqdis yang keduanya merupakan kiblat kaum muslimin. Tidaklah pengikut para nabi menghadapkan wajah mereka untuk beribadah keculali ke Baitul Maqdis dan Makkah Al Mukarramah. Sekaligus ini menujukkan keutamaan beliau melihat kedua kiblat dalam satu malam.
3. Untuk menampakkan keutamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan para nabi yang lainnya. Beliau berjumpa dengan mereka di Baitul Maqdis lalu beliau shalat mengimami mereka.
Kisah yang agung ini sarat akan banyak faedah, di antaranya :
1. Kisah Isra’ Mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla.
2. Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi dan rasul’alaihimus shalatu wa salaam.
3. Peristiwa yang agung ini menunjukkan keimanan para sahabat radhiyallahu’anhum. Mereka meyakini kebenaran berita tentang kisah ini, tidak sebagaimana perbuatan orang-orang kafir Quraisy.
4. Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan terjaga. Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, muhadditsin, dan fuqaha, serta inilah pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama Ahlus sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)

Penyebutan kata ‘hamba’ digunakan untuk ruh dan jasad secara bersamaan. Inilah yang terdapat dalam hadits-hadits Bukhari dan Muslim dengan riwayat yang beraneka ragam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa salaam melakukan Isra` dan Mi’raj dengan jasad beliau dalam keadaan terjaga.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Lum’atul I’tiqad “… Contohnya hadits Isra` dan Mi’raj, beliau mengalaminya dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan tidur, karena (kafir) Quraisy mengingkari dan sombong terhadapnya (peristiwa itu), padahal mereka tidak mengingkari mimpi”
Imam Ath Thahawi rahimahullah berkata : “Mi’raj adalah benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam telah melakukan Isra` dan Mi’raj dengan tubuh beliau dalam keadaan terjaga ke atas langit…”
1. Penetapan akan ketinggian Allah Ta’ala dengan ketinggian zat-Nya dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan Allah, yakni Allah tinggi berada di atas langit ketujuh, di atas ‘arsy-Nya. Ini merupakan akidah kaum muslimin seluruhnya dari dahulu hingga sekarang.
2. Mengimani perkara-perkara ghaib yang disebutkan dalam hadits di atas, seperti: Buraaq, Mi’raj, para malaikat penjaga langit, adanya pintu-pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidratul Muntaha beserta sifat-sifatnya, surga, dan selainnya.
3. Penetapan tentang hidupnya para Nabi ‘alaihimus salaam di kubur-kubur mereka, akan tetapi dengan kehidupan barzakhiah, bukan seperti kehidupan mereka di dunia. Oleh karena itulah, di sini tidak ada dalil yang membolehkan seseorang untuk berdoa, bertawasul, atau meminta syafa’at kepada para Nabi dengan alasan mereka masih hidup. Syaikh Shalih Alu Syaikh rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salaam dalam Mi’raj menemui ruh para Nabi kecuali Nabi Isa ‘alaihis salaam. Nabi menemui jasad Nabi Isa karena jasad dan ruh beliau dibawa ke langit dan beliau belum wafat.
4. Banyaknya jumlah para malaikat dan tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah.
5. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah kalimur Rahman (orang yang diajak bicara langsung oleh Ar Rahman).
6. Allah Ta’ala memiliki sifat kalam (berbicara) dengan pembicaraan yang sebenar-benarnya.
7. Tingginya kedudukan shalat wajib dalam Islam, karena Allah langsung yang memerintahkan kewajiban ini.
8. Kasih sayang dan perhatian Nabi Musa’alaihis salaam terhadap umat Islam, ketika beliau menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diringankan kewajiban shalat.
9. Penetapan adanya nasakh (penghapusan hukum) dalam syariat Islam, serta bolehnya me-nasakh suatu perintah walaupun belum sempat dikerjakan sebelumnya, yakni tentang kewajiban shalat yang awalnya lima puluh rakaat menjadi lima rakaat.
10. Surga dan neraka sudah ada sekarang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat keduanya ketika Mi’raj.
11. Para ulama berbeda pendapat apakah Nabi melihat Allah pada saat Mi’raj. Ada tiga pendapat yang populer : Nabi melihat Allah dengan penglihatan, Nabi melihat Allah dengan hati, dan Nabi tidak melihat Allah namun hanya mendengar kalam Allah.
12. Pendapat yang benar bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj hanya berlangusng satu kali saja dan tidak berulang.
13. Barangsiapa yang mengingkari Isra`, maka dia telah kafir, karena dia berarti menganggap Allah berdusta. Barangsiapa yang mengingkari Mi’raj maka tidak dikafirkan kecuali setelah ditegakkan padanya hujjah serta dijelaskan padanya kebenaran.

Bagaimana hukum mengadakan perayaan Isra’ Mi’raj? Berdasarkan dari penjelasan di atas, nampak jelas bagi kita bahwa perayaan Isra` Mi’raj tidak boleh dikerjakan, bahkan merupakan perkara bid’ah, karena dua alasan :
1. Malam Isra` Mi’raj tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya. Banyaknya perselisihan di kalangan para ulama, bahkan para sahabat dalam penentuan kapan terjadinya Isra` dan Mi’raj, merupakan dalil yang sangat jelas menunjukkan bahwa mereka tidaklah menaruh perhatian yang besar tentang waktu terjadinya. Jika waktu terjadinya saja tidak disepakati, bagaimana mungkin bisa dilakukan perayaan Isra’ Mi’raj?
2. Dari sisi syari’at, perayaan ini juga tidak memiliki landasan. Seandainya perayaan tersebut adalah bagian dari syariat Allah, maka pasti akan dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, atau minimal beliau sampaikan kepada ummatnya. Seandainya beliau dan para sahabat mengerjakannya atau menyampaikannya, maka ajaran tersebut akan sampai kepada kita.

Jadi, tatkala tidak ada sedikitpun dalil tentang hal tersebut, maka perayaan Isra’ Mi’raj bukan bagian dari ajaran Islam. Jika dia bukan bagian dari agama Islam, maka tidak boleh bagi kita untuk beribadah dan bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dengan perbuatan tersebut. Bahkan merayakannya termasuk perbuatan bid’ah yang tercela.
Berikut di antara fatwa ulama dalam masalah ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya : ”Pertanyaan ini tentang perayaan malam Isra’ Mi’raj yang terjadi di Sudan. Kami merayakan malam Isra’ Mi’raj rutin setiap tahun, Apakah perayaan tersebut memiliki sumber dari Al Qur’an dan As Sunnah atau pernah terjadi di masa Khulafaur Rasyidin atau pada zaman tabi’in? Berilah petunjuk kepadaku karena saya bingung dalam masalah ini. Terimakasih atas jawaban Anda.”
Jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Perayaan seperti itu tidak memiliki dasar dari Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak pula pada zaman Khulafaur Rasyidin . Petunjuk yang ada dalam Al Qur’an dan sunnah rasul-Nya justru menolak perbuatn bid’ah tersebut karena Allah Ta’ala mengingkari orang-orang yang menjadikan syariat bagi mereka selain syariat Allah termasuk perbuatan syirik, sebagaimana firman Allah :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy Syuura:21)
Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari Allah dan rasul-Nya maka amalan tersebut tertolak “.
Perayaan malam Isra’ Mi’raj bukan merupakan perintah Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dalam setiap khutbah Jum’at melalui sabda beliau :
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah perkara baru dalam agama, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Semoga paparan ringkas ini dapat menambah ilmu dan wawasan kita, serta dapat menambah keimanan kita. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad